Kamis, 12 Februari 2015

Laporan Sistem saraf pusat II

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Kejang adalah pelepasan muatan oleh neuron – neuron otak yang mendadak dan tidak terkontrol, yang menyebabkan perubahan pada fungsi otak . Kejang terjadi sewaktu neuron- neuron serebrum tertentu berada dalam keadaan hipereksitasi atau mudah mengalami depolarisasi. (Gunawan, S. G., 2007: 150)
Sewaktu kejang berlanjut ,neuron- neuron inhibitorik di otak melepaskan muatan-muatan dan menyebabkan pelepasan muatan oleh neuron melambat kemudian berhenti. Apabila suatu kejang di ikuti oleh kejang kedua dan ketiga sebelum memperoleh kembali kesadaran, maka dikatakan terjadi status epileptikus. (Sherwood, Lauralee., 2001)
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia (penurunan oksigen dalam darah) berat, hipoglikomia (penurunan glukosa dalam darah), asihemia (peningkatan asam dalam darah), alkalemia (penurunan asam dalam darah), dehidrasi, intoksikasi air atau demam tinggi. (Gunawan, S. G., 2007)\
Epilepsi adalah suatu kejang yang terjadi tanpa penyebab metabolik yang reversible. Epilepsi dapat bersifat primer dan sekunder. Epilepsi primer menjadi secara spontan, biasanya pada anak – anak, dan memiliki predisposisi genetik. Saat ini sedang dilakukan pemetaan beberapa gen yang berhubungan dengan epilepsi primer. (Gunawan, S. G., 2007)
Adapun dalam bidang farmasi pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu untuk diketahui khususnya dalam bidang ilmu farmakologi toksikologi karena mahasiswa farmasi dapat mengetahui obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf pusat. Hal inilah yang melatar belakangi dilakukannya percobaan ini.



B.     Maksud dan Tujuan Percobaan
1.      Maksud Percobaan
Mengetahui efek yang ditimbulkan setelah pemberian obat antikonvulsan secara oral pada hewan.
2.      Tujuan Percobaan
Menentukan onset dan durasi obat psikotropik dan antikonvulsan terhadap pemberian pada mencit.

C.     Prinsip Percobaan
Penentuan onset dan durasi obat fenobarbital, fenitoin, Na CMC, dan klonidin terhadap efek yang ditimbulkan oleh mencit dengan menggunakan uji chemoshock test dan RRA (Rolling Roller Aparatus)






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.     Tinjauan Teoritis
Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak. Secara pasti, apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian otak yang memiliki muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang sempit, maka penderita hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika melibatkan daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di seluruh tubuh. Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran, kehilangan kesadaran, kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan menjadi linglung. (Medicastore, 2008)
Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. (Mardjono, 1988: 439)
Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi. Timbulnya parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai manifetasi epileptic. Tetapi suatu manifestasi motorik dan sensorik ataupun sensomotorik ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba dan berkala adalah epilepsi. (Mardjono, 1988: 439)
Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu focus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptic yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptic. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi. (Utama dan Gan, 2007: 179)
Pada dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1.      Bangkitan umum primer (epilepsi umum)
a.       Bangkitan tonik-konik (epilepsi grand mall)
b.      Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences)
c.       Bangkitan lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik, bangkitan klonik, bangkitan infantile
2.      Bangkitan parsial atau fokal atau lokal (epilepsi parsial atau fokal)
a.       Bangkitan parsial sederhana
b.      Bangkitan parsial kompleks
c.       Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
3.      Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II)
(Utama dan Gan, 2007: 181)
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron disekitarnya., kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Kemudian, cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke focus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu terjadi diensefalon. (Utama dan Gan, 2007: 186)
Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi dua fase, yakni fase inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca2+ dan Na+ serta hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau ion K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron di sekitarnya), akumulasi Ca2+ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca2+ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsi umum/epilepsi sekunder. (Utama dan Gan, 2007: 189)

Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara obat yang bekerja secara sentral. (Louisa dan Dewoto, 2007: 247)
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di SSP. (Louisa dan Dewoto, 2007: 247)
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007: 247)
Medula oblongota hanya dipengaruhi striknin pada dosis yang menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin tidak langsung mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada pusat vasomotor. Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral striknin.pada hewan coba dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran cerna. Striknin digunakan sebagai perangsanmg nafsu makan secara irasional berdasarkan rasanya yang pahit. (Louisa dan Dewoto, 2007: 247)
Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh enzim mikrosom sel hati dan Necel 4 diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap dalam waktu 10 jam, sebagian dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007: 247)
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada dalam sikap hiperekstensi (opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang menyentuh alas tidur. Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas terhenti karena kontraksi otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini terjadi berulang; frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati dalam serangan berikutnya. Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan napas dan kontraksi otot yang hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun asidosis metabolik hebat; yang terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan kadar laktat dalam plasma. (Louisa dan Dewoto, 2007: 248)
Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV, sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensial terhadap depresi post ictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau obat penekan ssp non-selektif lain. Kadang-kadang diperlukan tindakan anastesia atau pemberian obat penghambat neuromuskular pada keracunan yang hebat. (Louisa dan Dewoto, 2007: 248)
Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan membantu pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal berguna untuk memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan kurariform untuk mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan bila diduga masih ada striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung digunakan larutan KMnO4 0,5 ‰ atau campuran yodium tingtur dan air (1:250) atau larutan asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya rangsangan sensorik. (Louisa dan Dewoto, 2007: 248)



B.     Uraian Bahan
1.      Na CMC                     (Dirjen POM. 1979: 401)
Nama resmi                 : NATRII CARBOXYMETHYLCELLULOSUM
Nama lain                    : Natrium karboksimetilselulosa
Rumus molekul           : C23H46N2O6.H2SO4.H2O
Berat molekul              : 694,85
Rumus struktur           :





Pemerian                     : Serbuk    atau   butiran  putih   atau   putih  kuning
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa gading     tidak    berbau/hampir     tidak     berbau,
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaihigroskopik
Kelarutan                    : Mudah    mendispersi    dalam    air,   membentuk  aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa           asuspensi   koloidal,   tidak    larut    dalam    etanol
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa  (95%), dalam eter dan dalam pelarut organik
Penyimpanan               : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan                    : Sebagai pensuspensi obat/sampel
2.      Fenobarbital                (Dirjen POM. 1979: 481)
Nama resmi                 : PHENOBARBITALUM
Nama lain                    : Luminal
Rumus molekul           : C12H12N2O3
Berat molekul              : 232,24
Pemerian                     : Hablur atau serbuk hablur; putih tidak berbau; rasa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiagak pahit
Kelarutan                    :iSangat sukar larut dalam air; larut dalam etanol aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaai(95%) P, dalam eter P, dalam larutan alkali aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaihidroksida dan dalam larutan alkali karbonat
Farmakodinamik         :iEfek  utama  adalah   depresi   SSP, semua tingkat aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiidepresinya dapat tercapai mulai dari sedatif, aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaihipnotik, berbagai tingkat anestesi, koma
Farmakokinetik           :iBentuk garam natrium lebih mudah diabsorpsi aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiidaripada bentuk asamnya, masa kerja bervariasi aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiiantara 10-60 menit tergantung pada zat dan aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiiformulasinya
Indikasi                       :iDigunakan pada narkoakalisis dan narkoterapi di aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiklinik psikistri dan sebagai anestesi umum yang aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiidigunakan secara intravena
Efek samping              : Hang over,  eksitasi, paradoksal, rasa nyeri, alergi
Penyimpanan               : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat                        : Hipnotikum, sedativum
Mekanisme kerja         : Merangsang   kontraksi jantung menurun,  terjadi aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaipernapasan perut, kecepatan nafas naik hingga aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaitertidur menyebabkan terjadinya miosis, aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaibronkokontriksi, sirkulasi darah lambat, stimulasi aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiperistaltik dan sekresi saluran cerna
3.      Fenitoin                       (Dirjen POM. 1979: 492)
Nama resmi                 :  PHENYTOINUM
Nama lain                    :  Fenitoina
Rumus Kimia              :  C15H12N2O2
Berat molekul              :  252,28
Rumus bangun            :
 


N
 
                                                                                   O


Pemerian                     :  Serbuk hablur, putih tidak berbau, tidak berasa
Kelarutan                    :  Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%) P, sukar larut dalam kloroform P, dalam eter P, larut dalam larutan alkali hidroksida.
Penyimpanan               :  Dalam wadah tertutup rapat.
Kegunaan                    :  Antikonvulsan         
Dosis Maksimum        :  400 mg / 800 mg
Mekanisme kerja         : Mekanisme kerja utamanya pada korteks motoris yaitu menghambat penyebaran aktivitas kejang. Kemungkinan hal ini disebabkan peningkatan pengeluaran natrium dari neuron dan fenitoin cenderung menstabilkan ambang rangsang terhadap hipereksitabilitas yang disebabkan perangsangan berlebihan atau kemampuan perubahan lingkungan di mana terjadi penurunan bertahap ion natrium melalui membran. Ini termasuk penurunan potensiasi paska tetanik pada sinaps. Fenitoin menurunkan aktivitas maksimal pusat batang otak yang berhubungan dengan fase tonik dari kejang tonik-klonik (grand mal). Waktu paruh plasma setelah pemberian oral rata-rata adalah 22 jam (antara 7-42 jam).
Indikasi                       : mengontrol keadaan kejang tonik-klonik (grand mal) dan serangan psikomotor “temporal lobe”
Kontra indikasi           :iiPasien dengan sejarah hipersensitif terhadap fenitoin atau produk hidantoin lain
4.      Klonidin                      (Depkes RI 1995, hal 244) 
Nama resmi                 : CLONIDINI HYDROCHLORIDUM
Nama lain                    : Klonidin Hidroklorida
Rumus Molekul           : C9H9Cl2N3. HCl
Berat Molekul             : 266,6
Pemerian                     : Serbuk hablur putih atau hampir putih
Kelarutan                    :iMudah larut dalam 13 bagian air, dalam etanol aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaimutlak, sukar larut dalam etanol
Penyimpanan               : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan                    : Antihipertensi
Mekanisme kerja         :iMerangsang adrenoreseptior-2 di SSP maupun aaaaaaaaaaaaaa iiiiiiiaperifer, tetapi efek antihipertensinya terutama aaaaaaaaaaaaaaiiiiiiiiiiaberakibat perangsangan reseptor di SSP. Klonidin aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiijuga sedikit mengurangi denyut jantung
Indikasi                       : Hipertensi
Kontra Indikasi           : "Sick sinus syndrome". Pemblokan atrio ventrikular aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaistadium 2 atau 3
Efek Samping             : Mulut kering, sedasi, dan lemah, keluhan ortostatik

C.     Uraian Hewan Coba
1.      Klasifikasi Mus musculus
Kingdom         : Animalia
Phyllum           : Chordata
Subphyllum     : Vertebrata
Classis             : Mammalia
Ordo                : Rodentia
Familia            : Muridae
Genus              : Mus
Spesies            : Mus musculus
2.      Data biologis
- Konsumsi pakan per hari
- Konsumsi air minum per hari
- Diet protein
- Ekskresi urine per hari
- lama hidup
- Bobot badan dewasa
-          Jantan
-          Betina
- Bobot lahir
- Dewasa kelamin (jantan=betina)
- Siklus estrus (menstruasi)
- Umur sapih
- Mulai makan pakan kering
- Rasio kawin
- Jumlah kromosom
- Suhu rektal
- Laju respirasi
- Denyut jantung
- Pengambilan darah maksimum
- Jumlah sel darah merah (Erytrocyt)
- Kadar haemoglobin(Hb)
- Pack Cell Volume (PCV)
- Jumlah sel darah putih (Leucocyte)
5 g (umur 8 minggu)
6,7 ml (umur 8 minggu)
20-25%
0,5-1 ml
1,5 tahun

25-40 g
20-40 g
1-1,5 g
28-49 hari
4-5 hari (polyestrus)
21 hari
10 hari
1 jantan – 3 betina
40
37,5oC
163 x/mn
310 – 840 x/mn
7,7 ml/Kg
8,7 – 10,5 X 106 / μl
13,4 g/dl
44%
8,4 X 103 /μl




BAB III
METODE KERJA
A.     Alat dan Bahan
1.      Alat
a.       Batang pengaduk
b.      Gelas kimia
c.       Gelas ukur
d.      Sendok tanduk
e.       Spoit oral
f.       Stopwatch
g.      Timbangan analitik
h.      RRA (Rolling Roller Apparatus)
2.      Bahan
a.       Aquadest
b.      Clonidine
c.       Fenitoin
d.      Fenobarbital
e.       Na CMC

B.     Cara Kerja
1.      Psikotropik
a.       Disiapkan alat dan bahan
b.      Dibagi mencit menjadi dua kelompok
Mencit I diberi Na CMC 1% secara p.o
Mencit II diberi clonidine secara p.o
c.       Diamati respon buka mata pada mencit
2.      Antikonvulsan
a.       Chemoshok test
1)      Disiapkan alat dan bahan
2)      Dibagi mencit menjadi dua kelompok
Mencit I diberi fenitoin secara p.o
Mencit II diberi fenobarbital secara p.o
3)      Dihitung onset dan durasi obat
b.      RRA (Rolling Roller aparatus)
1)      Disiapkan alat dan bahan
2)      Dibagi mencit menjadi tiga kelompok
Mencit I diberi Na CMC secara p.o
Mencit II diberi fenitoin secara p.o
Mencit III diberi fenobarbital secara p.o
3)      Diamati waktu jatuh mencit





















BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A.     Tabel Pengamatan
1.      Psikotropik
No
Obat
Waktu buka mata
1.
Na CMC 1%
2 menit 37 detik
2.
Clonidine
4 menit 12 detik

2.      Antikonvulsan
a.       Chemoshock test
No.
Obat
Onset
Durasi
1.
Fenitoin
2 menit 15 detik
7 menit 52 detik
2.
Fenobarbital
2 menit 22 detik
4 menit 35 detik

b.      RRA (Rolling Roller Aparatus)
No.
Obat
Waktu jatuh
1.
Na CMC
7 menit 44 detik
2.
Fenitoin
7 menit 13 detik
3.
Fenobarbital
5 menit 51 detik

B.     Perhitungan
1)      Clonidine
Dosis Etiket                            = 0,15 mg
Bobot rata-rata tablet              = 162 mg
Dosis mencit 20 g                   = DE x Fk = 0,15 x 0,0026 = 0,0004 mg
Dosis mencit 30 g                   = 30  x 0,0004 = 0,0006
                                                   20
Serbuk yang ditimbang           =  0, 0006 x 162 = 0,0972 = 0,06 mg
                                                   0,15 x 10                 1,5


Pengenceran
60 mg Clonidine + 10 mL Na CMC (6 mg)  


10 mL (0,6 mg)                 1 mL


                                                            10 mL (0,06 mg)
                                                           
2)      Fenobarbital
Dosis Etiket                            =30 mg
Bobot rata-rata tablet              = 154 mg
Dosis mencit 20 g                   = DE x Fk = 30 x 0,0026 = 0,078 mg
Dosis mencit 30 g                   = 30  x 0,078 = 0,117 mg
                                                   20
Serbuk yang ditimbang           =  0, 117 x 154 = 18,012 = 0,06 mg
                                                30 x 10                    300
Pengenceran
60 mg Fenobarbital + 10 mL Na CMC (6 mg)          


10 mL (0,6 mg)                 1 mL


                                                            10 mL (0,06 mg)
3)      Fenitoin
Dosis Etiket                            = 100 mg
Bobot rata-rata kapsul             = 250 mg
Dosis mencit 20 g                   = DE x Fk = 100 x 0,0026 = 0,26 mg
Dosis mencit 30 g                   = 30  x 0,26 = 0,1= 0,3 mg
                                                   20
Serbuk yang ditimbang           = 0, 3     x 250 =   75   = 0,075 mg
                                                100 x 10                 1000
Pengenceran
75 mg Fenitoin + 10 mL Na CMC (7,5 mg)  


10 mL (0,75 mg)               1 mL 


                                                10 mL (0,075 mg)

C.     Pembahasan
Antikonvulsan digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat yang timbul spontan dengan epilepsi singkat (disebut bangkitan atau seizure) dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang.
Mekanisme kerja obat antiepilepsi atau antikonvulsan adalah obat yang dapat mencegah timbulnya pelepasan listrik yang abnormal dipangkalnya dalam sistem saraf pusat, misalnya fenobarbital dan kloronazepam. Sedangkan mencegah besarnya aktifitas berlebih tersebut ke neuron – neuron otak lain seperti pada obat kloronazepam, fenitoin dan trimetadion.
Pada percobaan ini digunakan clonidine dalam uji psikotropik,  fenitoin dan fenobarbital dalam uji antikonvulsan, serta Na CMC 1% sebagai kontrol. Semua pemberian obat untuk hewan uji mencit (Mus musculus) dilakukan secara oral untuk dibandingkan dengan Na CMC.
Alat yang digunakan dalam percobaan ini antara lain batang pengaduk, gelas kimia, gelas ukur, RRA (Rolling Roller Apparatus), sendok tanduk, spoit oral, stopwatch, dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan antara lain aquadest, clonidine, fenitoin, fenobarbital, dan Na CMC.
Cara kerja untuk uji Psikotropik yaitu disiapkan alat dan bahan, dibagi mencit menjadi dua kelompok. Mencit I diberi Na CMC 1% secara p.o dan mencit II diberi clonidine secara p.o, lalu diamati respon buka mata pada mencit. Pada uji antikonvulsan untuk chemoshok test yaitu disiapkan alat dan bahan, lalu dibagi mencit menjadi dua kelompok. Mencit I diberi fenitoin secara p.o dan mencit II diberi fenobarbital secara p.o. Dihitung onset dan durasi obat. Untuk RRA (Rolling Roller aparatus) disiapkan alat dan bahan, dibagi mencit menjadi tiga kelompok. Mencit I diberi Na CMC secara p.o, mencit II diberi fenitoin secara p.o, mencit III diberi fenobarbital secara p.o, lalu diamati waktu jatuh mencit.
Hasil yang diperoleh yaitu pada uji psikotropik saat diberikan Na CMC 1% waktu buka mata mencit adalah 2 menit 3detik dan clonidine adalah 4 menit 2 detik. Pada uji chemoshock test, onset fenitoin adalah sebesar 2 menit 15 detik dan durasinya 7 menit 52 detik. Onset fenobarbital adalah 2 menit 27 detik dan durasinya 4 menit 35 detik. Pada uji RRA (Rolling Roller Aparatus), waktu jatuh mencit saat diberikan Na CMC 1% adalah 7 menit 44 detik, fenitoin 7 menit 13 detik, dan fenobarbital 5 menit 51 detik.
Adapun dalam bidang farmasi pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu untuk diketahui khususnya dalam bidang ilmu farmakologi toksikologi karena mahasiswa farmasi dapat mengetahui obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf pusat. Hal inilah yang melatar belakangi dilakukannya percobaan ini.
BAB V
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa clonidine merupakan suatu obat psikotropik. Fenitoin dan fenobarbital merupakan obat yang dapat digunakan sebagi obat antikonvulsan karen dapat secara cepat menurunkan gejala kejang pada mencit.

B.     Saran
1.      Untuk Asisten
Tetap mendampingi di lab, arahan dan bimbingang sangat diperlukan.
2.      Untuk laboratorium
Sebaiknya alat dan semua bahan praktikum dilengkapi.










DAFTAR PUSTAKA
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III”. Jakarta: Depkes RI
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi III”. Jakarta: Depkes RI
Gunawan, S. G. 2007.  Farmakologi dan Terapi . Jakarta: UI Press
Louisa M & Dewoto HR . 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat . Dalam : aaaaaaaFarmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta : FK UI
Mardjono. M. 1988. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat
Utama H. & Gan. V . 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi . Dalam : Farmakologi aaaaaaadan Terapi, Edisi 5Jakarta: FK UI
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC



LAMPIRAN
Skema Kerja
1.      Psikotropik
Mencit


                                      Na CMC 1%             Clonidine


                                                 Amati respon buka mata
2.      Antikonvulsan
Chemoshock test
Mencit


                                          Fenitoin                    Fenobarbital


Amati onset dan durasi



RRA (Rolling Roller Aparatus)
Mencit



Na CMC 1%               Fenitoin            Fenobarbital

0 komentar:

Posting Komentar