BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kejang adalah
pelepasan muatan oleh neuron – neuron otak yang mendadak dan tidak terkontrol, yang
menyebabkan perubahan pada fungsi otak . Kejang terjadi sewaktu neuron- neuron
serebrum tertentu berada dalam keadaan hipereksitasi atau mudah mengalami
depolarisasi. (Gunawan, S. G., 2007: 150)
Sewaktu kejang
berlanjut ,neuron- neuron inhibitorik di otak melepaskan muatan-muatan dan
menyebabkan pelepasan muatan oleh neuron melambat kemudian berhenti. Apabila
suatu kejang di ikuti oleh kejang kedua dan ketiga sebelum memperoleh kembali
kesadaran, maka dikatakan terjadi status epileptikus. (Sherwood, Lauralee.,
2001)
Kejang dapat
terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia (penurunan oksigen dalam
darah) berat, hipoglikomia (penurunan glukosa dalam darah), asihemia
(peningkatan asam dalam darah), alkalemia (penurunan asam dalam darah),
dehidrasi, intoksikasi air atau demam tinggi. (Gunawan, S. G., 2007)\
Epilepsi adalah
suatu kejang yang terjadi tanpa penyebab metabolik yang reversible. Epilepsi
dapat bersifat primer dan sekunder. Epilepsi primer menjadi secara spontan,
biasanya pada anak – anak, dan memiliki predisposisi genetik. Saat ini sedang
dilakukan pemetaan beberapa gen yang berhubungan dengan epilepsi primer.
(Gunawan, S. G., 2007)
Adapun dalam bidang farmasi
pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu untuk diketahui khususnya dalam
bidang ilmu farmakologi toksikologi karena mahasiswa farmasi dapat mengetahui
obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf pusat. Hal inilah
yang melatar belakangi dilakukannya percobaan ini.
B. Maksud
dan Tujuan Percobaan
1. Maksud
Percobaan
Mengetahui
efek yang ditimbulkan setelah pemberian obat antikonvulsan secara oral pada
hewan.
2. Tujuan
Percobaan
Menentukan
onset dan durasi obat psikotropik dan antikonvulsan terhadap pemberian pada
mencit.
C. Prinsip
Percobaan
Penentuan onset dan durasi obat
fenobarbital, fenitoin, Na CMC, dan klonidin terhadap efek yang ditimbulkan
oleh mencit dengan menggunakan uji chemoshock test dan RRA (Rolling Roller
Aparatus)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis
Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di
dalam otak. Secara pasti, apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada
bagian otak yang memiliki muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah
yang sempit, maka penderita hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika
melibatkan daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di
seluruh tubuh. Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran, kehilangan
kesadaran, kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan menjadi
linglung. (Medicastore, 2008)
Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar.
Konvulsi dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria,
atau berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak
dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan
berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara
berlebihan. (Mardjono, 1988: 439)
Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap
sebagai epilepsi. Timbulnya parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap
sebagai manifetasi epileptic. Tetapi suatu manifestasi motorik dan sensorik
ataupun sensomotorik ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba dan berkala adalah
epilepsi. (Mardjono, 1988: 439)
Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang
berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif,
terjadi di suatu focus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus
ini merupakan neuron epileptic yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron
epileptic. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan
epilepsi. (Utama dan Gan,
2007: 179)
Pada
dasarnya, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum)
a.
Bangkitan
tonik-konik (epilepsi grand mall)
b.
Bangkitan
lena (epilepsi petit mal atau absences)
c.
Bangkitan
lena yang tidak khas (atypical absences, bangkitan tonik, bangkitan klonik,
bangkitan infantile
2. Bangkitan parsial atau fokal atau lokal (epilepsi
parsial atau fokal)
a.
Bangkitan
parsial sederhana
b.
Bangkitan
parsial kompleks
c.
Bangkitan
parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau
II)
(Utama dan Gan, 2007: 181)
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer
adalah karena adanya cetusan
listrik di fokal korteks.
Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron disekitarnya.,
kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Kemudian, cetusan
korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan
jalur nukleus subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang
tereksitasi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke focus korteks
asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran
cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan
retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu
terjadi diensefalon. (Utama dan Gan, 2007: 186)
Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial
meliputi dua fase, yakni fase inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi
terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan
kanal ion Ca2+ dan Na+ serta
hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau ion K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+
intrasel (yang mendepolarisasi neuron di sekitarnya), akumulasi Ca2+
pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan neurotransmitter), serta
menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca2+ sehingga tidak
terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan
dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan
epilepsi umum/epilepsi sekunder. (Utama dan Gan, 2007: 189)
Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk
menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat
utama diantara obat yang bekerja secara sentral. (Louisa dan Dewoto, 2007: 247)
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif
terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan
pascasinaps, dimana glisin juga bertindak sebagai transmiter penghambat
pascasinaps yang terletak pada pusat yanng lebih tinggi di SSP. (Louisa dan
Dewoto, 2007: 247)
Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian
SSP. Obat ini merupakan obat konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada
hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota
gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat
yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin
ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik
yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi
pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga
merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin
dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut
konvulsi spinal. (Louisa dan Dewoto, 2007: 247)
Medula
oblongota hanya dipengaruhi
striknin pada dosis yang menimbulkan hipereksitabilitas seluruh SSP. Striknin
tidak langsung mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tetapi bila terjadi konvulsi
akan terjadi perubahan tekanan darah berdasarkan efek sentral striknin pada
pusat vasomotor. Bertambahnya tonus otot rangka juga berdasarkan efek sentral
striknin.pada hewan coba dan manusia tidak terbukti adanya stimulasi saluran
cerna. Striknin digunakan sebagai perangsanmg nafsu makan secara irasional
berdasarkan rasanya yang pahit. (Louisa dan Dewoto, 2007: 247)
Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat
suntikan, segera meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di
SSP tidak lebih daripada di jaringan lain. Stirknin segera di metabolisme oleh
enzim mikrosom sel hati dan Necel 4 diekskresi melalui urin. Ekskresi lengkap dalam
waktu 10 jam, sebagian dalam bentuk asal. (Louisa dan Dewoto, 2007: 247)
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah
kaku otot muka dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan
motorik hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih
terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Pada stadium ini badan berada
dalam sikap hiperekstensi (opistotonus), sehingga hanya occiput dan tumit saja yang
menyentuh alas tidur. Semua otot lurik dalam keadaan kontraksi penuh. Napas
terhenti karena kontraksi otot diafragma, dada dan perut. Episode kejang ini
terjadi berulang; frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan
sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat, dan pesien takut mati
dalam serangan berikutnya. Kematian biasanya disebabkan oleh paralisis batang
otak karena hipoksia akibat gangguan napas. Kombinasi dari adanya gangguan
napas dan kontraksi otot yang hebat dapat menimbulkan asidosis respirasi maupun
asidosis metabolik hebat; yang terakhir ini mungkin akibat adanya peningkatan
kadar laktat dalam plasma. (Louisa dan Dewoto, 2007: 248)
Obat yang penting untuk mengatasi hal ini ialah diazepam 10 mg IV, sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa
menimbulkan potensial terhadap depresi post ictal, seperti yang umum terjadi
pada penggunaan barbiturat atau obat penekan ssp non-selektif lain.
Kadang-kadang diperlukan tindakan anastesia atau pemberian obat penghambat
neuromuskular pada keracunan yang hebat. (Louisa dan Dewoto, 2007: 248)
Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah
terjadinya kejang dan membantu pernapasan. Intubasi pernapasan endotrakeal
berguna untuk memperbaiki pernapasan. Dapat pula diberikan obat golongan
kurariform untuk mengurangi derajat kontraksi otot. Bilas lambung dikerjakan
bila diduga masih ada striknin dalam lambung yang belum diserap. Untuk bilas lambung
digunakan larutan KMnO4 0,5 ‰ atau campuran yodium tingtur dan air (1:250)
atau larutan asam tanat. Pada perawatan ini harus dihindarkan adanya rangsangan
sensorik. (Louisa dan Dewoto, 2007: 248)
B.
Uraian Bahan
1.
Na CMC (Dirjen POM. 1979: 401)
Nama resmi : NATRII
CARBOXYMETHYLCELLULOSUM
Nama lain : Natrium
karboksimetilselulosa
Rumus
molekul : C23H46N2O6.H2SO4.H2O
Berat
molekul : 694,85
Rumus struktur :
Pemerian : Serbuk atau
butiran putih atau
putih kuning
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa gading tidak
berbau/hampir tidak berbau,
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaihigroskopik
Kelarutan : Mudah mendispersi dalam
air, membentuk aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa asuspensi koloidal,
tidak larut dalam
etanol
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa (95%), dalam eter dan dalam pelarut organik
Penyimpanan :
Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai pensuspensi
obat/sampel
2.
Fenobarbital (Dirjen POM. 1979: 481)
Nama resmi : PHENOBARBITALUM
Nama lain : Luminal
Rumus molekul : C12H12N2O3
Berat molekul : 232,24
Pemerian : Hablur
atau serbuk hablur; putih tidak berbau; rasa aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiagak pahit
Kelarutan :iSangat sukar
larut dalam air; larut dalam etanol aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaai(95%) P, dalam
eter P, dalam larutan alkali aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaihidroksida dan
dalam larutan alkali karbonat
Farmakodinamik :iEfek
utama adalah depresi SSP, semua tingkat aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiidepresinya dapat tercapai mulai dari sedatif, aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaihipnotik, berbagai tingkat anestesi, koma
Farmakokinetik :iBentuk garam
natrium lebih mudah diabsorpsi aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiidaripada bentuk
asamnya, masa kerja bervariasi aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiiantara 10-60
menit tergantung pada zat dan aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiiformulasinya
Indikasi :iDigunakan pada
narkoakalisis dan narkoterapi di aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiklinik
psikistri dan sebagai anestesi umum yang aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiidigunakan
secara intravena
Efek samping : Hang over,
eksitasi, paradoksal, rasa nyeri, alergi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat : Hipnotikum,
sedativum
Mekanisme
kerja : Merangsang
kontraksi jantung menurun, terjadi aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaipernapasan perut,
kecepatan nafas naik hingga aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaitertidur
menyebabkan terjadinya miosis, aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaibronkokontriksi,
sirkulasi darah lambat, stimulasi aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiperistaltik
dan sekresi saluran cerna
3.
Fenitoin (Dirjen POM. 1979: 492)
Nama
resmi : PHENYTOINUM
Nama
lain : Fenitoina
Rumus
Kimia : C15H12N2O2
Berat
molekul : 252,28
Rumus bangun :
|
O
Pemerian : Serbuk hablur, putih tidak berbau, tidak berasa
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%)
P, sukar larut dalam kloroform P, dalam eter P, larut dalam larutan alkali
hidroksida.
Penyimpanan : Dalam
wadah tertutup rapat.
Kegunaan : Antikonvulsan
Dosis
Maksimum : 400 mg / 800 mg
Mekanisme
kerja : Mekanisme kerja utamanya pada korteks
motoris yaitu menghambat penyebaran aktivitas kejang. Kemungkinan hal ini
disebabkan peningkatan pengeluaran natrium dari neuron dan fenitoin cenderung
menstabilkan ambang rangsang terhadap hipereksitabilitas yang disebabkan
perangsangan berlebihan atau kemampuan perubahan lingkungan di mana terjadi
penurunan bertahap ion natrium melalui membran. Ini termasuk penurunan
potensiasi paska tetanik pada sinaps. Fenitoin menurunkan aktivitas maksimal
pusat batang otak yang berhubungan dengan fase tonik dari kejang tonik-klonik (grand
mal). Waktu paruh plasma setelah pemberian oral rata-rata adalah 22 jam
(antara 7-42 jam).
Indikasi :
mengontrol keadaan kejang tonik-klonik (grand
mal) dan serangan psikomotor “temporal lobe”
Kontra indikasi :iiPasien dengan sejarah hipersensitif terhadap fenitoin atau produk
hidantoin lain
4.
Klonidin (Depkes RI
1995, hal 244)
Nama resmi : CLONIDINI HYDROCHLORIDUM
Nama lain : Klonidin Hidroklorida
Rumus Molekul : C9H9Cl2N3.
HCl
Berat
Molekul : 266,6
Pemerian : Serbuk hablur putih atau
hampir putih
Kelarutan :iMudah larut dalam 13 bagian air, dalam
etanol aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaimutlak,
sukar larut dalam etanol
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Antihipertensi
Mekanisme
kerja :iMerangsang
adrenoreseptior-2 di SSP maupun aaaaaaaaaaaaaa
iiiiiiiaperifer, tetapi efek antihipertensinya terutama aaaaaaaaaaaaaaiiiiiiiiiiaberakibat
perangsangan reseptor di SSP. Klonidin aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiijuga sedikit mengurangi denyut
jantung
Indikasi : Hipertensi
Kontra
Indikasi : "Sick sinus
syndrome". Pemblokan atrio ventrikular aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaistadium 2 atau 3
Efek
Samping : Mulut kering,
sedasi, dan lemah, keluhan ortostatik
C.
Uraian Hewan Coba
1. Klasifikasi Mus musculus
Kingdom :
Animalia
Phyllum : Chordata
Subphyllum : Vertebrata
Subphyllum : Vertebrata
Classis :
Mammalia
Ordo :
Rodentia
Familia :
Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
Spesies : Mus musculus
2. Data
biologis
- Konsumsi pakan per hari
- Konsumsi air minum per hari
- Diet protein
- Ekskresi urine per hari
- lama hidup
- Bobot badan dewasa
-
Jantan
-
Betina
- Bobot lahir
- Dewasa kelamin (jantan=betina)
- Siklus estrus (menstruasi)
- Umur sapih
- Mulai makan pakan kering
- Rasio kawin
- Jumlah kromosom
- Suhu rektal
- Laju respirasi
- Denyut jantung
- Pengambilan darah maksimum
- Jumlah sel darah merah
(Erytrocyt)
- Kadar haemoglobin(Hb)
- Pack Cell Volume (PCV)
- Jumlah sel darah putih
(Leucocyte)
|
5 g (umur 8 minggu)
6,7 ml (umur 8
minggu)
20-25%
0,5-1 ml
1,5 tahun
25-40 g
20-40 g
1-1,5 g
28-49 hari
4-5 hari (polyestrus)
21 hari
10 hari
1 jantan – 3 betina
40
37,5oC
163 x/mn
310 – 840 x/mn
7,7 ml/Kg
8,7 – 10,5 X 106
/ μl
13,4 g/dl
44%
8,4 X 103
/μl
|
BAB III
METODE KERJA
A.
Alat dan Bahan
1. Alat
a. Batang
pengaduk
b. Gelas
kimia
c. Gelas
ukur
d. Sendok
tanduk
e. Spoit
oral
f. Stopwatch
g. Timbangan
analitik
h. RRA
(Rolling Roller Apparatus)
2. Bahan
a. Aquadest
b. Clonidine
c. Fenitoin
d. Fenobarbital
e. Na
CMC
B. Cara
Kerja
1. Psikotropik
a. Disiapkan
alat dan bahan
b. Dibagi
mencit menjadi dua kelompok
Mencit I diberi Na CMC
1% secara p.o
Mencit II diberi
clonidine secara p.o
c. Diamati
respon buka mata pada mencit
2. Antikonvulsan
a. Chemoshok test
1) Disiapkan
alat dan bahan
2) Dibagi
mencit menjadi dua kelompok
Mencit I diberi
fenitoin secara p.o
Mencit II diberi
fenobarbital secara p.o
3) Dihitung
onset dan durasi obat
b. RRA
(Rolling Roller aparatus)
1) Disiapkan
alat dan bahan
2) Dibagi
mencit menjadi tiga kelompok
Mencit I diberi Na CMC
secara p.o
Mencit II diberi
fenitoin secara p.o
Mencit III diberi
fenobarbital secara p.o
3) Diamati
waktu jatuh mencit
BAB
IV
HASIL
PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A. Tabel
Pengamatan
1. Psikotropik
No
|
Obat
|
Waktu buka mata
|
1.
|
Na
CMC 1%
|
2
menit 37 detik
|
2.
|
Clonidine
|
4
menit 12 detik
|
2.
Antikonvulsan
a.
Chemoshock test
No.
|
Obat
|
Onset
|
Durasi
|
1.
|
Fenitoin
|
2 menit 15 detik
|
7 menit 52 detik
|
2.
|
Fenobarbital
|
2 menit 22 detik
|
4 menit 35 detik
|
b.
RRA (Rolling Roller Aparatus)
No.
|
Obat
|
Waktu jatuh
|
1.
|
Na CMC
|
7 menit 44 detik
|
2.
|
Fenitoin
|
7 menit 13 detik
|
3.
|
Fenobarbital
|
5 menit 51 detik
|
B.
Perhitungan
1)
Clonidine
Dosis Etiket =
0,15 mg
Bobot rata-rata tablet = 162 mg
Dosis mencit 20 g =
DE x Fk = 0,15 x 0,0026 = 0,0004 mg
Dosis
mencit 30 g = 30 x 0,0004 = 0,0006
20
Serbuk
yang ditimbang = 0, 0006 x 162 = 0,0972 = 0,06 mg
0,15 x 10
1,5
Pengenceran
60 mg Clonidine + 10 mL Na CMC (6 mg)
10 mL (0,6 mg) 1 mL
10
mL (0,06 mg)
2)
Fenobarbital
Dosis Etiket =30
mg
Bobot rata-rata tablet =
154 mg
Dosis mencit 20 g =
DE x Fk = 30 x 0,0026 = 0,078 mg
Dosis
mencit 30 g = 30 x 0,078 = 0,117 mg
20
Serbuk
yang ditimbang = 0, 117 x 154 = 18,012 = 0,06 mg
30
x 10 300
Pengenceran
60 mg Fenobarbital + 10 mL Na CMC (6 mg)
10 mL (0,6 mg) 1 mL
10
mL (0,06 mg)
3)
Fenitoin
Dosis Etiket =
100 mg
Bobot rata-rata kapsul =
250 mg
Dosis mencit 20 g =
DE x Fk = 100 x 0,0026 = 0,26 mg
Dosis
mencit 30 g = 30 x 0,26 = 0,1= 0,3 mg
20
Serbuk
yang ditimbang = 0, 3 x 250 = 75 = 0,075 mg
100
x 10 1000
Pengenceran
75 mg Fenitoin + 10 mL Na CMC (7,5 mg)
10 mL (0,75 mg) 1 mL
10
mL (0,075 mg)
C.
Pembahasan
Antikonvulsan
digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure).
Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf
pusat yang timbul spontan dengan epilepsi singkat (disebut bangkitan atau
seizure) dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang.
Mekanisme kerja
obat antiepilepsi atau antikonvulsan adalah obat yang dapat mencegah timbulnya
pelepasan listrik yang abnormal dipangkalnya dalam sistem saraf pusat, misalnya
fenobarbital dan kloronazepam. Sedangkan mencegah besarnya aktifitas berlebih
tersebut ke neuron – neuron otak lain seperti pada obat kloronazepam, fenitoin
dan trimetadion.
Pada percobaan
ini digunakan clonidine dalam uji psikotropik,
fenitoin dan fenobarbital dalam uji antikonvulsan, serta Na CMC 1%
sebagai kontrol. Semua pemberian obat untuk hewan uji mencit (Mus musculus) dilakukan secara oral
untuk dibandingkan dengan Na CMC.
Alat yang
digunakan dalam percobaan ini antara lain batang pengaduk, gelas kimia, gelas
ukur, RRA (Rolling Roller Apparatus),
sendok tanduk, spoit oral, stopwatch, dan timbangan analitik. Bahan yang
digunakan antara lain aquadest, clonidine, fenitoin, fenobarbital, dan Na CMC.
Cara kerja untuk
uji Psikotropik yaitu disiapkan alat dan bahan, dibagi mencit menjadi dua
kelompok. Mencit I diberi Na CMC 1% secara p.o dan mencit II diberi clonidine
secara p.o, lalu diamati respon buka mata pada mencit. Pada uji antikonvulsan
untuk chemoshok test yaitu disiapkan
alat dan bahan, lalu dibagi mencit menjadi dua kelompok. Mencit I diberi
fenitoin secara p.o dan mencit II diberi fenobarbital secara p.o. Dihitung
onset dan durasi obat. Untuk RRA (Rolling
Roller aparatus) disiapkan alat dan bahan, dibagi mencit menjadi tiga
kelompok. Mencit I diberi Na CMC secara p.o, mencit II diberi fenitoin secara
p.o, mencit III diberi fenobarbital secara p.o, lalu diamati waktu jatuh
mencit.
Hasil yang
diperoleh yaitu pada uji psikotropik saat diberikan Na CMC 1% waktu buka mata
mencit adalah 2 menit 3detik dan clonidine adalah 4 menit 2 detik. Pada uji chemoshock test, onset fenitoin adalah
sebesar 2 menit 15 detik dan durasinya 7 menit 52 detik. Onset fenobarbital
adalah 2 menit 27 detik dan durasinya 4 menit 35 detik. Pada uji RRA (Rolling Roller Aparatus), waktu jatuh
mencit saat diberikan Na CMC 1% adalah 7 menit 44 detik, fenitoin 7 menit 13
detik, dan fenobarbital 5 menit 51 detik.
Adapun dalam bidang farmasi
pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu untuk diketahui khususnya dalam
bidang ilmu farmakologi toksikologi karena mahasiswa farmasi dapat mengetahui
obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf pusat. Hal inilah
yang melatar belakangi dilakukannya percobaan ini.
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil
pengamatan, dapat disimpulkan bahwa clonidine merupakan suatu obat psikotropik.
Fenitoin dan fenobarbital merupakan obat yang dapat digunakan sebagi obat antikonvulsan
karen dapat secara cepat menurunkan gejala kejang pada mencit.
B. Saran
1.
Untuk
Asisten
Tetap mendampingi di lab, arahan dan bimbingang sangat diperlukan.
2.
Untuk
laboratorium
Sebaiknya alat dan semua bahan praktikum dilengkapi.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III”. Jakarta:
Depkes RI
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi III”. Jakarta:
Depkes RI
Gunawan,
S. G. 2007. Farmakologi dan Terapi . Jakarta: UI Press
Louisa M
& Dewoto HR . 2007. Perangsangan Susunan Saraf Pusat . Dalam : aaaaaaaFarmakologi dan
Terapi, Edisi 5. Jakarta
: FK UI
Mardjono. M.
1988. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat
Utama H. & Gan. V . 2007. Antiepilepsi dan
Antikonvulsi . Dalam : Farmakologi aaaaaaadan Terapi, Edisi 5. Jakarta: FK UI
Sherwood,
Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia.
Jakarta: EGC
LAMPIRAN
Skema Kerja
1.
Psikotropik
Mencit
Na CMC 1%
Clonidine
Amati respon buka mata
2.
Antikonvulsan
Chemoshock test
Mencit
Fenitoin Fenobarbital
Amati onset dan durasi
RRA (Rolling
Roller Aparatus)
Mencit
Na CMC 1% Fenitoin Fenobarbital
0 komentar:
Posting Komentar